Rabu, 07 Mei 2008

hadits : Wahai Rasulullah, apakah itu perang di jalan Allah




‘Utsman bercerita kepada kami, ia berkata: Jarir bin Manshur memberitakan kepada kami dari Abu Wa’il dari Abu Musa, ia berkata: “Seseorang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah itu perang di jalan Allah? Sesungguhnya ada seseorang dari kami yang berperang karena marah, dan ada yang berperang karena membela orang lain.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya -(Abu Musa) berkata: Tidaklah Rasulullah mengangkat kepalanya melainkan karena orang yang bertanya dalam keadaan berdiri- dan menjawab: ‘Siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia berada di jalan Allah.’” HR. al-Bukhari.

TENTANG HADITS

‘Utsman adalah Ibnu Abu Syaibah. Jarir adalah Ibnu Abdul Hamid. Manshur adalah Ibnu al-Mu’tamir. Abu Wa’il adalah Syaqiq. Abu Musa adalah al-‘Asy’ari. Seluruh perawi hadits ini adalah penduduk Kufah.

Lelaki yang bertanya adalah seorang Badui, bernama Lahiq bin Dhamirah.

Hadits ini dicantumkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, kitabul ‘ilmi, bab 45 (Orang bertanya sambil berdiri kepada mu’allim yang sedang duduk) no. 123.

MAKSUD HADITS

Berperang karena marah maksudnya adalah orang yang berperang berdasarkan kemarahan yang timbul karena kehormatan pribadinya dilanggar orang lain. Berperang karena membela orang lain adalah perang yang dilandasi rasa pembelaan terhadap keluarga, kerabat atau teman karib.

Kalimat yang terdapat dalam hadits ini termasuk jawami’ul kalim yang menjadi keistimewaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Yaitu suatu ungkapan yang ringkas dan artinya sangat luas. Alhasil pertanyaan yang banyak itu hanya membutuhkan satu jawaban saja, dan dalam jawaban itu sudah mencakup semua yang diinginkan oleh orang yang bertanya. Sehingga, orang yang bertanya tidak perlu menyampaikan pertanyaan berikutnya.

Jika seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab pertanyaan itu satu persatu bahwa perang yang seperti itu bukan termasuk fii sabiilillah, tentu akan sangat berbahaya. Karena, orang yang mendengar akan menyimpulkan bahwa perang yang terjadi selain karena kedua faktor (marah dan hamiyyah), berarti perang fii sabiilillah. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya menjawab dengan satu kalimat, dan ini adalah jawaban yang sangat sempurna. Bahkan, jawaban ini cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lain yang akan muncul.

Ibnu Baththal mengungkapkan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sangat adil dalam memberikan jawaban. Karena marah dan hamiyyah kadang-kadang bisa terjadi karena Allah.” Artinya, jika ia berperang karena marah ketika melihat Islam dihina dan dilecehkan, berarti ia telah berperang fii sabiilillah. Jika ia berperang karena marah ketika kehormatan pribadinya dilanggar orang dan tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, maka ia bukan berperang fii sabiilillah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya tiap amalan bergantung kepada niatnya pelakunya.

Al-Bukhari menyebutkan beberapa hadits yang mirip dengan hadits ini, hanya redaksinya saja yang berbeda, namun intinya sama. Antara lain hadits-hadits itu adalah hadits no. 2810, no. 3126, dan no. 7458.

Dari beberapa hadits itu didapat kesimpulan, peperangan bisa terjadi karena beberapa faktor:

  1. Mencari ghanimah;
  2. Pamer keberanian;
  3. Ingin dilihat orang;
  4. Hamiyyah , perang karena membela seseorang;
  5. Dan marah;

Di antara faktor-faktor ini ada yang terpuji dan ada yang tercela, sesuai dengan kondisi dan situasinya. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari ketika memberikan penjelasan tentang hadits ini.

Secara tersirat, hadits ini memberikan pelajaran kepada setiap orang beriman, bahwa keutamaan seorang mujahid yang paling istemewa hanya diberikan kepada mereka yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah saja. Fadhilah ini tidak akan diberikan kepada mereka yang berperang karena alasan atau sebab lain.

Berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maksudnya adalah berperang dalam rangka membela din Allah, Islam. Para ulama berbeda pendapat tatkala menerangkan hadits ini. Pertama, bukan perang fiisabiilillah kecuali jika hanya untuk meninggikan Islam saja, bukan karena yang lain. Kedua, jika niat awal seseorang untuk berperang semata-mata karena ingin meninggikan Islam, lalu tiba-tiba timbul keinginan yang lain (seperti ingin mendapatkan ghanimah), maka tidaklah mengapa. Dengan kata lain, ia tetap berada di jalan Allah (fii sabiilillah). Pendapat kedua ini yang dikemukakan oleh ath-Thabari dan jumhur ulama.

Sebagai pelajaran, dalam hadits ini terdapat celaan terhadap orang yang hidupnya hanya semata-mata mengharapkan dunia. Sebaliknya, di dalamnya terdapat pujian bagi orang yang mendermakan semua yang dimilikinya untuk menegakkan Islam.

Wallahu A’lam bishshawab.

[ hadits :: brain-News.blogspot.com, edisi-5 : JIHAD ]

0 komentar:

 
.